John Rambo, nama yang sinonim dengan aksi brutal, ketahanan luar biasa, dan semangat juang yang tak kenal lelah. Lebih dari sekadar karakter fiksi, Rambo telah menjadi ikon budaya pop, mewakili aspek-aspek gelap dari perang dan trauma pasca-trauma. Kisah-kisahnya, yang dikisahkan dalam serangkaian film laga yang ikonik, telah memikat penonton selama beberapa dekade, memicu diskusi tentang perang, patriotisme, dan konsekuensi kekerasan.
Dari Vietnam yang dilanda perang hingga hutan Myanmar yang berbahaya, petualangan Rambo telah membawa kita ke beberapa lokasi paling berbahaya di dunia. Kemampuannya dalam pertempuran jarak dekat, keahliannya dalam penggunaan senjata, dan ketahanan fisiknya yang luar biasa telah membuatnya menjadi legenda di dunia perfilman aksi. Namun, di balik keterampilan mematikannya, terdapat seorang pria yang terluka parah, yang bergulat dengan kenangan masa lalunya yang mengerikan dan berusaha mencari kedamaian dalam sebuah dunia yang tidak memaafkan.
Film pertama, First Blood (1982), memperkenalkan kita pada John Rambo, seorang veteran Perang Vietnam yang terpinggirkan dan tersisihkan oleh masyarakat. Kemampuan tempurnya yang luar biasa, yang seharusnya membuat dia dihormati, justru membuatnya menjadi target kecurigaan dan perlakuan buruk. Konfliknya dengan aparat penegak hukum memicu serangkaian peristiwa yang mencengangkan, yang akhirnya memaksa Rambo untuk memanfaatkan semua keahliannya demi bertahan hidup.
Rambo bukanlah sekadar pahlawan aksi biasa. Ia adalah potret seorang veteran yang mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) dan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan sipil. Kegelapan yang menyelimuti dirinya adalah konsekuensi langsung dari pengalaman traumatisnya di medan perang. Film-filmnya mencerminkan dampak perang terhadap jiwa manusia, dengan gambaran kekerasan yang eksplisit dan gambaran yang tidak terbantahkan tentang penderitaan yang dialami oleh para veteran.
